Jumat, 23 September 2011

TESIS PENGEMBAN KURIKULUM PESANTREN

A. KONTEKS PENELITIAN
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia, sebagaimana pendapat Nur Kholis Madjid pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri dan pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia.
Kehadiran pesantren pertama kali di Indonesia, tidak terdapat keterangan yang pasti. Dari pendapat Hasbullah, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 M di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi, hal ini juga diragukan karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Menurut Mastuhu lembaga pendidikan pesantren muncul seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, yaitu sekitar abat XI atau XIII. Bukti bahwa Islam telah masuk pada abad tersebut adalah dengan ditemukannya batu nisan atas nama Fatimah binti Maemun yang wafat pada tahun 1082M/474 H. di Leran Gresik dan makam Malikus Saleh di Sumatera yang bertarikh abad XIII. Walaupun demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peran-sertanya tidak diragukan lagi terutama bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Dari berbagai historisasi sejarah pendidikan Islam yang ada bagaimanapun juga pondok pesntren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada definisi yang dapat secara tepat mewakili seluruh pondok pesantren yang ada. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Meskipun demikian dalam hal-hal tertentu pondok pesantren memilki persamaan-persamaan. Persamaaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri pondok pesantren, dan selama ini dianggap dapat mengimplikasi pondok pesantren secara kelembagaan.
Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang telah terbukti berperan penting dalam melakukan transmisi ilmu-ilmu keagamaan dimasyarakat. Jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2003-2004 tercatat 14.656 pesantren. Sebanyak 4.692 buah (32%), sebanyak 3.068 buah (23%) merupakan pesantren khalafiyah (ashiriyah), dan 6596 buah (45%) sebagai pesantren kombinasi, yaitu pesantren yang memadukan sistem salafiyah dan khalafiayah. Jumlah santri seluruhnya 3.369.193 orang, yang terdiri dari 1.699.474 (50.4%) sebagai santri mukim dan sisanya sebagai santri kalong (tidak menetap).
Materi yang diajarkan di pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang langsung digali dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. Dengan sistem yang dinamakan pesantren, proses internalisasi ajaran Islam kepada santri bisa berjalan secara penuh. baik dengan pimpinan dan keteladanan para kyai dan ustadz serta pengelolaan yang khas akan tercipta suatu komunikasi tersendiri, yang di dalamnya terdapat semua aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya dan organisasi.
Perubahan pola dan sistem pendidikan di pesantren merupakan respon terhadap modernisasai pendidikan Islam dan perubahan sosial ekonomi pada masyarakat. Seperti dikemukakan Azyumardi Azra yang menyebutkan empat bentuk respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam yaitu; pertama, pembaharuan subtansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subject-subject umum dan vocational; Kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal dan penjenjangan; ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti perubahan kepemimpinan pesantren dan diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaharuan fungsi dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan dan tuntutan dinamika masyarakat tersebut, beberapa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah (formal) bahkan disebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan diantaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, dan sebagainya yang kesemuanya bertujuan untuk memperdayakan potensi masyarakat sekitarnya.
Kurikulum yang dipergunakan pondok pesantren dalam melaksakan pendidikannya tidak sama dengan kurikulum yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan formal, bahkan tidak sama antara satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya. Pada umumnya kurikulum pondok pesantren yang menjadi arah tertentu (manhaj), diwujudkan dalam bentuk penetapan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan ilmu pengetahuan santri. Sebenarnya model pembelajaran yang diberikan oleh pesantren kepada santrinya sejalan dengan salah saru prinsip pembelajaran modern, yang dikenal dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning), yaitu dengan mempelajari sampai tuntas kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama untuk masing-masing bidang ilmu yang berbeda. Akhir pembelajaran dilakukan berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari.
Kompetensi tersebut tercermin pada penguasaan kitab-kitab secara gradutif berurutan dari yang ringan sampai yang berat, dari yang mudah kekitab yang lebih sukar, dari kitab yang tipis sampai kitab yang berjilid-jilid. Kitab-kitab yang digunakan tersebut dikenal dengan istilah kitab kuning. Disebut demikian karena umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas yang berwara kuning.
Dari berbagai perkembangan pesantren yang ada baik dari sistem kelembagaan maupun struktur organisasasinya, maka banyak pesantren yang membuka diri dengan tuntutan zaman kearah yang lebih modern dengan tidak meninggalkan doktrin-doktrin klasik sebagai pembelajaran tradisi pesantren terkait dengan penanaman keagamaan Islam dengan mengembangkan pendidikan yang variatif. Salah satunya adalah pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang yang dijadikan penelitian ini, adalah salah satu pondok pesantren yang tergolong tipologi khalafiyah (‘ashriyah) dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan menggunakan pendekatan modern, selain mendalami doktrin-doktrin keagamaan juga mengembangkan pendidikan madrasah ataupun pendidikan formal pada umumnya, dengan pendidikan berkelas (klasikal). Pembelajarannya dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti kelas, semester, tahun, dan seterusnya.
Madrasah atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum madrasah atau sekolah lain, yang telah dabakukan oleh departemen agama atau kementrian agama untuk istilah sekarang ataupun kementrian pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan formal lain yang diselenggarakan oleh pondok pesantren selain madrasah dan sekolah menggunakan kurikulum pondok pesantren sendiri, hal ini karena tipologi pesantrennya tergolong khalafiyah (‘ashiriyah) berbeda dengan pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti pada pendidikan formal.
Jenjang pendidikan yang ada di pondok pesantren An-Nur terbagi menjadi dua; Pertama jalur keagamaan, dalam jenjang ini ada madrasah diniyah, yang terdiri dari tingkat ‘ula (tingkat dasar), Wustho (tingkat menengah), dan Ulya (tingkat tinggi), serta Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIK); Kedua, jalur formal yang terdiri dari MI, MTS, SMP, MA dan SMA.
Program pengembangan pondok pesantren An-Nur berupa, program pengembangan fisik yaitu: pembangunanan asrama santri dengan kapasitas 750 orang santri dan aula yang komperehensif dan pengembangan non fisik, yaitu santri dilatih menjadi orator dan ahli manajemen serta berbagai usaha ekonomi melalui swalayan, SPBU, wartel, bengkel dan pertanian.
Dari latar belakang itulah ketertarikan peneliti untuk mendalami dan mengkaji lebih dalam di dunia pesantren dengan mengambil obyek penelitian tesis di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang dengan judul “ Model Pengembangan Kurikulum Pesantren (Studi di Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning Pondok Pesantren An-Nur Bululawang Malang)”

B. FOKUS PENELITIAN
1. Bagaimana perencanaan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang?
2. Bagaimana pelaksanaan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang?
3. Bagaimana model pengembangan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang?
4. Bagaimana model pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning di Pesantren An-Nur Bululawang Malang?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Ingin mengetahui perencanaan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang.
2. Ingin mengetahui pelaksanaan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang.
3. Ingin mengetahui model pengembangan kurikulum di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang.
4. Ingin mengetahui model pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning di pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran tentang pengembangan pondok pesantren terutama dalam upaya mengembangkan kurikulum yang ada di lembaga pesantren
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan saran dan bahan pertimbangan dalam mengembangkan pendidikan yang ada di pesantren khususnya pondok pesantren An-Nur Bululawang Malang yang mengembangkan sekolah atau perguruan tinggi di pesantren maupun lembaga pendidikan Islam lainnya.

E. DEFINISI ISTILAH
1. Model
Model adalah kontruksi yang bersifat teoritis dari konsep. Sedangkan menurut Burhan Nurgiyantoro, model adalah ulasan teoritis tentang suatu konsepsi dasar. Dalam pendapat Van Dalen Priat memberi kedudukan yang sama antara model dan teori, ia menjelaskan sebagai berikut :
“Both Theories and models are conceptual schemes that explain the relationship at the variables under concideration. But models are analogies( this thing is like that thing) and therefore can tolerate some fact that are not in accord with the real phenomena. A theory, on the other hand, is supposet to the describe the fact and relationship that exist, and any fact are not compatible with the theory invalidate the theory”.
Dengan demikian, model akan berguna jika mampu mengembangkan secara efektif dan efesien sejumlah data dan fenomena yang kompleks. Model didapatkannya dari penjelasan aspek-aspek tertentu terhadap domain teori secara total. Dengan kata lain, model memiliki konsentrasi pada variabel-variabel terpilih dan bagaimana ia saling berhubungan dengan teori.
Dalam kegiatan pengembangan kurikulum model merupakan ulasan teoritik tentang suatu proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hanya merupakan ulasan salah satu komponen kurikulum, atau suatu model yang memberikan ulasan tentang organisasi kurikulum. Tetapi ada pula yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangan saja. Dan ada juga yang menekankan pada hubungan yang terlibat dalam mengembangkan kurikulum.
2. Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum, agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian. Berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain menetapkan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar mengajar.
Sedangkan menurut Dafid Pratt, pemgembangan kurikulum menunjuk pada kegiatan menghasilkan kurikulum. Kegiatan ini lebih bersifat konseptual dari pada material, yang dimaksud dalam kegiatan pengembangan diri ini adalah, penyusunan, pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan.
Bila dikaitkan dengan kurikulum pesantren yang lebih menfokuskan pada pengajaran agama terutama doktrin-doktrin agama Islam maka, dapat dipahami bahwa pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai:
a) Kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan agama Islam; atau
b) Proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum pendidikan agama Islam yang lebih baik; dan
c) Kegiatan menyusun (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum pendidikan agama islam.
3. Pondok Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Pendapat yang sama menurut Soegarda Poerbakawatja, menjelaskan pesanten asal katanya adalah santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian, pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.
Sedangkan Istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, atau tempat bermalam. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian, pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memilki asrama tempat tinggal kyai dan santri. Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kyai.
Sedangkan pondok pesantren adalah lembaga keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
Pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan dan keagamaan yang ada di Indonesia. Secara lahiriyah, pesantren pada umumnya merupakan suatu komplek bangunan yang terdiri dari rumah kyai, masjid, pondok tempat tinggal para santri dan ruangan belajar. Disinilah para santri tinggal selama beberapa tahun belajar langsung dari kyai dalam hal ilmu agama. Meskipun demikian, dewasa ini pondok pesantren telah tumbuh dan berkembang secara bervariatif.
F. KAJIAN TEORI
1. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guna atau dipelajari oleh siswa. Oemar Hamalik memberi pendapat dengan memberi pengertian, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperoleh ijazah. Dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Robert S. Zais, yang mengatakan “…a racecourse of subject matters to be mastered ” .
Dalam pandangan yang baru (modern) kurikulum mempunyai pengertian yang berbeda, pandangan kurikulum yang semula dari menekankan pada Isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut Caswel dan Cambel dalam buku mereka yang terkenal Curriculum development (1935) kurikulum … to be composed of all of the experiences children have under the guidances of teachers. Bahwa kurikulum memberikan semua pengalaman pada anak-anak di bawah bimbingan guru.
Begitu juga, sebagaimana yang diungkapkan oleh Romine (1954) yang memberi rumusan “ Curriculum is interpreted to mean all of organized course, activities, and experiences which pupils have under direction of school, whether in the classroom or not”
Dari pendapat di atas dapat ditafsirkan bahwa kurikulum bersifat luas, karena kurikulum bukan terdiri atas mata pelajaran (courses) tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi hanya dalam kelas saja, melainkan dilaksanakan baik di dalam maupun diluar kelas, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
a. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.
Dalam pendapat Nasution, Istilah kurikulum dibagi dua; pertama, a race course, a place for running, and a carriot ialah suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. Dan juga berarti chariot semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari start sampai finish. Kedua, a course in general, applied particulariy to the course of study in university, kemudian kurikulum yang semula digunakan dibidang olah raga selanjutnya dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi. Dalam pendapat Oemar Hamalik, Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni “curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari.
Pengertian kurikulum mempunyai tafsiran yang berbeda-beda diantara para pakar pendidikan. Dalam pandangan Nasution, memberikan beberapa definisi kurikulum sebagai berikut:
1) Kurikulum dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Hal ini dapat berupa mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah dan lain-lain.
2) Kurikulum dapat pula di pandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
3) Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Kedua pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedang pandangan yang ketiga ini apa yang secara factual menjadi kenyataan pada tiap siswa, bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang diharapkan menurut rencanaa.
Sedangkan menurut pendapat Oemar Hamalik, kurikulum diartikan sebagai berikut:
1) Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang telah disusun secara sistematis dan logis.
2) Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk pembelajaran siswa dengan program itu para siswa melakukan sebagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran.
3) Kurikulum adalah seperangkat rencana pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan susunan dan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya.
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran serta pembelajaran, baik yang berupa startegi pembelajaran maupun evaluasinya.
b. Pengembangan Kurikulum
Dalam Bukunya Muhaimin Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Bahwa pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai berikut:
1) Kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan agama Islam
2) Proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum pendidikan agama Islam yang lebih baik, dan
3) Kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan dan penyempurnaan kurikulum pendidikan agama Islam.
Sedangkan Menurut Oemar Hamalik, Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum, agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian. Berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain menetapkan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar mengajar.
c. Proses Pengembangan Kurikulum
Dari berbagai pengetian mengenai pengembangan kurikulum yang di ungkapkan oleh berbagai pakar pendidikan di atas maka dalam proses pengembangan kurikulum Muhaimin, menggambarkan sebagai berikut.

Gambar. Proses Pengembangan Kurikulum






*


E V A L U A S I



Proses Pengembangangan kurikulum dimulai dengan perencanaan kurikulum. Dalam penyususnan perencanaan itu didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan dikembangkanm dalam program. Ide kurikulum bisa berasal dari:
1) Visi yang dicanangkan, Visi (vision adalah The statement of idea or hopes) yakni pernyataan tentang cita-cita atau harapan-harapan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan dalam jangka panjang.
2) Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan kebutuhan untuk studi lanjut.
3) Hasil evaluasi kurikulum sebelumya dan tuntutan perkembangan ipteks & zaman.
4) Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya.
5) Kecendrungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memiliki etos belajar sepanjang hayat, melek sosial , ekonomi, politik, budaya dan teknologi.
Kelima ide tersebut kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan dalam program atau kurikulum sebagai dokumen, yang antara lain berisi: bentuk silabus, dan komponen-komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Apa yang tertuang dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam proses pelaksanaannya yang dapat berupa pengembangan kurikulum dalam bentuk satuan acara pembelajaran (SAP), proses pembelajaran di kelas atau di luar kelas, serta evaluasi pembelajaran, sehingga diketahui tingkat efesiensi dan efektivitasnya. Dari evaluasi ini akan diperoleh umpan balik (feed back) untuk digunakan dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya. Dengan demikian, proses pengembangan kurikulum menuntut adanya evaluasi secara berkelanjutan mulai perencanaan, implementasi hingga evaluasi itu sendiri.

d. Pendekatan-Pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam teori kurikulum terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Menurut muhaimin, pendekatan pengembangan dikelompokkan menjadi empat diantara adalah:
1) Pendekatan Subject Akademis
Pendekatan Subject akademis dalam penyusunan kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memilki sitematisasi tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subject akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu.
Pendekatan Subject akademis dalam menyusun kurikulum pendidikan agama Islam dilakukan dengan berdasarkan sistematisasi disiplin ilmu. Dalam aspek keimanan menggunakan sistematisasi tauhid, aspek Al-Qur’an menggunakan sistematisasi ilmu tafsir, akhlak menggunakan sistematisasi ilmu akhlak, ibadah/syari’ah/muamalah menggunakan sistematisasi ilmu fiqih dan tarikh atau sejarah menggunakan sistematisasi ilmu sejarah kebudayaan Islam. Masing-masing aspek atau mata pelajaran tersebut memilki karekteristik tersendiri, yang dapat dipergunakan untuk pengembangan disiplin ilmu lebih lanjut bagi para peserta didik yang memilki minat dibidangnya. Namun demikian, dalam pembinaannnya harus memperhatikan kaitan antara aspek/mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya.
2) Pendekatan Humanistis
Pendekatan humanistis dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide “memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan.
Memanusiakan manusia berarti usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Memanusiakan manusia juga berarti menumbuhkembangkan sebagian sifat-sifat ketuhanan (fitrah/potensi) itu secara terpadu dan diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun sosialnya, karena kemuliaan seseorang di sisi Allah lebih ditentukan oleh sejauhmana kualitasnya dalam mengembangkan sifat-sifat ketuhanan tersebut yang ada pada dirinya, bukan dilihat dari aspek materi, fisik dan jasadi. Islam sangat menentang paham materialisme, paham atau pandangan yang berlebih-lebihan dalam mencintai materi, karena pandangan semacam, itu akan bisa merusak bagi pengembangan sebagian sifat-sifat ketuhanan (fitrah manusia) tersebut serta dapat menghalangi kemampuan seseorang dalam menangkap kebenaran ilahiyah yang bersifat immateri. Berdasarkan pengertian tersebut, maka kurikulum pendidikan agama Islam dikembangkan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat peserta didik, yang mendorong mereka untuk dapat menumbuhkembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar dan atau fitrahnya, serta mendorongnya untuk mampu mengemban amanah baik sebagai ‘abdullah maupun khalifahNya. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Peserta didik menjadi subject pendidikan. Guru atau dosen berfungsi sebagai psikolog yang memahami segala kebutuhan dan masalah peserta didik melahirkan ide-idenya, atau sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayanan bagi peserta didik.


3) Pendekatan Teknologis
Pendekatan teknologis dalam penyusunan kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam, pendekatan tersebut dapat digunakan untuk pembelajaran pendidikan agama Islam yang menekankan pada know, how atau cara menjalankan shalat, haji, puasa, zakat, mengkafani mayit, shalat janazah, dan seterusnya.
Pembelajaran pendidikan agama Islam dikatan menggunakan pendekatan teknologis, bilamana ia menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya. Disamping itu, pendekatan teknologis ingin mengejar kemanfaatan tertentu, dan menuntut peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu, sehingga proses dan rencana produknya (hasilnya) diprogramkan sedemikian rupa, agar pencapaian hasil pembelajarannya (tujuan) dapat dievaluasi dan diukur dengan jelas dan terkontrol. Dari rancangan proses pembelajaran sampai mencapai hasil tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif, efesien, dan memilki daya tarik.
4) Pendekatan Rekontruksi Sosial
Pendekatan rekontruksi sosial berasumsi bahwa manusia adalah sebagai makhuk sosial yang di dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi dan bekerjasama. Melalui kehidupan bersama dan kerjasama itulah manusia dapat hidup, berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Tugas pendidikan terutama membantu agar peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Pendekatan rekontruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Isi pendidikan terdiri atas problem-problem actual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan atau pengalaman belajar kelompok yang mengutamakan kerjasama, baik antar peserta didik dengan guru/dosen, maupun antara peserta didik dan guru/dosen dengan sumber-sumber belajar lain. Karena itu, dalam penyusunan kurikulum program pendidikan agama Islam bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan agama Islam, sedang proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Model pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan rekontruksi sosial dapat digambarkan sebagai berikut.









e. Model Pengembangan Kurikulum di Pesanten
Ada berbagai macam pendapat mengenai model pengembangan kurikulum dari para ahli pendidikan. Diantaranya adalah menurut Dakir, mengelompokkan model pengembangan kurikulum menjadi: a) model administrative; b) model dari bawah (grass root); c) model demonstrasi, d) model beauchamp; e) model beaucham; f) Model terbalik Hilda Taba; g) model hubungan interpersonal dari Roger; h) model action research yang sistematis.
Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Abdullah Idi, bahwa model pengembangan kurikulum diklasifikasikan menjadi: a) model Rap Tyler; b) Model Hilda Taba; c) model D.K Wheeler; d) model Decker Walker; e) model Skill beck.
Sedangkan Menurut Nana Syaodih Sukmadinata model pengembangan kurikulum dikelompokkan menjadi: a) the administartif model; b) the grass roots model; c) beachamps system; d) the demonstration model; e) Rogers’s interpersonal relation model; f) the systematic action research model; g) emerging technical model.
Dari berbagai macam model pengembangan kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan tersebut maka model pengembangan kurikulum pesantren nenggunakan model “grass root”
Model Grass Root
Model grass roots adalah pengembangan kurikulum yang inisiataif dan upaya datang dari bawah, yaitu dari para pengajar atau guru-guru di sekolah yang merupakan para pelaksana kurikulum di sekolah-sekolah. Model ini mendasarkan diri anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih efektif jika para pelaksananya di sekolah sudah diikutsertakan sejak mula kegiatan pengembangan kurikulum itu.
Dalam model pengembangan yang bersifat grass root seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah atau lembaga pendidikan mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran dikelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuha kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum dikelasnya.
Dalam pendapat dakir, mengungkapkan beberapa langkah-langkah dalam pengembangan kurikulumnya sebagai berikut :
1) Inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar)
2) Tim pengajar dari beberapa sekolah ditambah nara sumber lain dari orang tua, peserta didik, atau masyarakat luas yang relevan
3) Pihak atasan memberikan dorongan dan bimbingan
4) Untuk memantapkan konsep pengembangannya yang telah dirintisnya diadakan lokakarya untuk mencari imput yang diperlukan.
f. Model-Model Pengembangan Kurikulum di Sekolah atau Perguruan Tinggi
Menurut Muhaimin, pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah/perguruan tinggi dapat dilihat dari dua sudut pandang pertama, pendidikan agama Islam sebagai aktifitas yakni upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam. Kedua, pendidikan agama Islam sebagai fenomena, adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.
Dalam Kebijakan pemerintah yang tertuang pdalam UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 3 dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan agama yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multimensional terutama yang menyangkut aspek moral-etika, dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional, yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demoktratis serta bertanggung jawab.
Demikian pula keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Di Perguruan tinggi, bahwa visi kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) termasuk di dalamnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Kedua kebijakan tersebut bermaksud untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama. Namun demikian, dalam prakteknya disekolah atau diperguruan tinggi masih belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Dalam pandangan Muhaimin, model pengembangan kurikulum di sekolah atau perguruan tinggi adalah sebagai berikut.
1) Model dikotomis
Pada model ini aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti pendidikan agama dan non agama. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau pada kehidupan rohani saja.
Pandangan dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (al-‘ulum al-diniyah) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara ilmu pengetahuan (sains) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang setia (loyal), memilki sifat kepribadian (commitment), dan pengabdian (dedikasi) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitik-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut.
Model dikotomis tersebut pernah terwujud dalam realitas sejarah pendidikan Islam. Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai pendidikan tinggi atau al-jami’ah) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ilmu-ilmu agama (al-ulum al-diniyah) dengan menekankan pada fiqih, tafsir, dan hadis. Sementara ilmu-ilmu non agama (keduniaan), terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal perkembangan madrasah dan al-jami’ah sudah berada pada posisi marginal.
2) Model Mekanism
Model mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hububgan antara nilai agama dapat bersifat horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial, atau vertical linier. Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan yang sederajat yang independent, dan tidak saling berkonsultasi. Relasai yang bersifat lateral-skuensial, berarti diantara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasai sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertical-linier dengan agama.
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau perguruan tinggi umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal-lateral (independent), ada yang mengembangkan relasi lateral-sekuensial, dan ada pula yang beropsesi untuk mengembangkan pola relasi vertical-linier. Semuanya itu lagi-lagi banyak ditentukan oleh kemauan, kemampuan, dan political-will dari pimpinan dan lembaga pendidikan tersebut.
3) Model Organism/Sistematik
Organism adalah sususan yang bersitem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tetentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang bercirikas agama Islam, atau sekolah-sekolah swasta Islam unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama pertama, sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.

2. Pondok Pesantren
a. Pengertian Pondok Pesantren
Kata pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Manfret Ziemek juga menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pesantrian yang berarti “tempat santri”, santri atau murid mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren baik kyai maupun ustadz. Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid berkaitan dengan santri ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari perkataan sastri sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Pendapat ini didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab. Disisi lain dalam pandangan Zamakhyari Dhofier mengatakan, kata santri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Pendapat kedua, bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata cantrik, berarti seorang yang selalu mengikuti seorang guru pergi menetap.
Pengertian terminologi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga ke makna keaslian Indonesia. Sebab cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
Pendapat serupa juga dapat dilihat dalam penelitian Karel A. Steenbrink, secara terminologi dapat dijelaskan pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.
Sedangkan Istilah “pondok” berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel, atau tempat bermalam. Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan demikian, pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memilki asrama tempat tinggal kyai dan santri. Di tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara santri dan kyai.
Dalam pendapat Hasbullah juga memberikan pengertian yang sama bahwa pengertian pondok berasal dari bahasa Arab yang disebut dengan istilah funduk, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.
Sedangkan pondok pesantren adalah lembaga keagamaan, yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
Di pondok seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang dilaksanakan oleh santri. Ada waktu belajar, sholat, makan, tidur, istirahat, dan sebagainya, bahkan ada juga waktu untuk ronda dan jaga malam.
Ada beberapa alasan pokok sebab pentingnya pondok dalam satu pesantren, yaitu: petama, banyaknya santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kyai yang sudah termashur keahliannya. Kedua, pesantren-pesantren tersebut terletak di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyai adalah seolah-olah orang tuanya sendiri.
b. Tipologi Pondok Pesantren
Dari berbagai tingkat konsistensi dengan sistem lama dan keterpengaruhan oleh sistem modern, secara garis besar pondok pesantren dapat digategorikan kedalam tiga bentuk diantaranya:
1) Pondok Peasantren Salafiyah (Tradisional)
Salaf artinya lama, dahulu, atau tradisional. Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab. Penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya suatu kitab tertentu, santri dapat naik kejenjang berikutnya dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pendidikan modern yang dikenal dengan sistem pembeajaran tuntas. Dengan cara ini, santri dapat lebih intensif mempelajari suatu cabang ilmu.
2) Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashiriyah)
Khalaf artinya kemudian atau belakang sedangkan ashri artinya sekarang atau modern. Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern. Melalui kegiatan pendidikan formal, baik madrasah (MI, MTS, MA atau MAK), maupun sekoah (SD, SMP, SMU, dan SMK), atau perguruan tinggi, dengan pendekatan klasikal. Pembelajaran pada pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan, dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu, seperti semester, tahun atau kelas, dan seterusnya. Pada pondok pesantren khalafiyah lebih banyak berfungsi sebagai asrama yang memberikan lingkungan kondusif untuk pendidikan agama.
3) Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi
Sebagian besar pondok pesantern campuran adalah pondok pesantren yang berada diantara rentangan dua pengertian di atas. Sebagian besar pondok pesantren yang mengaku atau menamakan diri pesantren salafiyah, pada umumnya juga meyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun tidak dengan nama madrasah atau sekolah. Demikian juga pesantren khalafiyah pada umumnya juga meyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab klasik, karena sistem “ngaji kitab” itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu identitas pondok pesantren tampa penyelenggaraan pengajian kitab klasik, agak janggal disebut sebagai pondok pesantren.
Disamping tipologi pesantren berdasarkan model pendidikan yang dilakukan, apakah tradisional atau modern, juga ada tipologi berdasarkan konsentrasi ilmu-ilmu agama yang diajarkan. Seperti halnya pesantren Al-Qur’an mulai qira’ah sampai tahfizh. Ada pesantren hadist, yang lebih berkonsentrasi pada pembelajaran hadist, Ada pesantren fiqih, tasawwuf dan seterusnya.
Tipologi pondok pesantren tidak hanya didasarkan pada penyelenggaraan pendidikan agama. Ada tipologi lain dibuat berdasarkan penyelenggaraan fungsinya sebagai lembaga pengembangan masyarakat melalui pengembangan usaha. Dari sisni dikenal pesantren pertanian, pesantren keterampilan, pesantren agrobisnis, pesantren kelautan, dan sebagainya. Maksudnya adalah, pesantren yang mengembangkan pertanian, atau menyelenggarakan jenis-jenis keterampilan tertentu atau mengembangkan agrobisnis tertentu. Atau mengembangkan budidaya kelautan.
Dalam pendapat Arifin, pondok pesantren diklasifikasikan menjadi empat diantaranya adalah:
1) Pesantren Salafi (Tradisional)
Yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak kader-kader da’i yang akan menyebarkan Islam di tengah masyarakatnya. Pada jenis pesantren ini para santri hanya dididik dengan ilmu-ilmu agama dan tidak diperkenankan mengikuti pendidikan formal. Kalaupun ilmu-ilmu itu diberikan hanya sebatas pada ilmu yang berhubungan dengan keterampilan hidup.
2) Pesantren Ribathi (Kombinasi)
Yaitu pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya, selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader da’i. juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan dapat mengisi posisi-posisi strategis, baik di dalam pemerintahan maupun di tengah masyarakat.
3) Pesantren Khalafi (Modern)
Yaitu pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Disebut khalafi, karena adanya berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tidak hanya diberikan materi agama dan umum, tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan skill atau vocational (keterampilan).
4) Pesantren Jami’i (asrama pelajar dan mahasiswa)
Yaitu pesantren yang memberikan pengajian kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam persepektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar disekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal.
Berbeda dengan pendapat Ziemek, yang membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi pesantren. Atas dasar hal itu, pesantren dibagi ke dalam lima jenis, yaitu:
1) Pesantren Tarekat (pesantren kaum sufi)
yaitu pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Dalam pesantren ini beberapa santri diterima belajar dan berdiam di rumah kyai. Pesantren tarekat lebih menekankan kepada pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah. Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah SWT dengan berbagai kegiatan seperti melaksankan riyadah, dzikir dan lain sebagainya.
2) Pesantren Klasik (tradisional)
Yaitu pesantren yang memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri sering terdiri dari rumah-rumah kayu atau bambo untuk pemondokan maupun ruangan-ruangan belajar yang terpisah.
3) Pesantren Plus Madrasah atau Sekolah
Yaitu pesantren dengan komponen-komponen klasik yang dilengkapi degan suatu madrasah atau sekolah yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dari pembaharuan Islam. Madrasah tersebut memiliki tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah atau madrasah yang resmi.
4) Pesantren, Madrasah atau Sekolah Plus Pendidikan Keterampilan
Yaitu pesantren yang disamping menyelenggarakan sekolah, juga menyelenggarakan berbagai pendidikan keterampilan bagi para santri dan warga sekitarnya. Pendidikan keterampilan tersebut antara lain menjahit, tekhnik elektro yang sederhana, perbengkelan, pertukangan dan lain-lain.
5) Pesantren Modern
Yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga menyelenggarakan program pendidikan keterampilan. Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren in.
Klasifikasi yang disodorkan di atas, memamg berdasarkan sepektrum komponen pesantren. Akan tetapi klasifikasi pesantren untuk mahasiswa dan pelajar tidak diungkap olehnya. Hal itu dapat dimaklumi karena pesantren mahasiswa dan pelajar baru muncul pada dekade 80-an.
Pendapat lain juga mengklasifikasikan dengan bentuk yang berbeda dengan dengan istilah pola pesantren yaitu: berdasarkan bangunan fisik dan berdasarkan kurikulum. Diantarnya adalah:
1) Berdasarkan bangunan fisik dipolakan menjadi lima;
Pola I
Dalam pola satu ini hanya terdapat masjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih bersifat sederhana dimana rumah kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pesantren ini santri hanya datang dari daerah pesantren itu sendiri, namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontineu dan sistematis. Metode pengajaran: wetonan dan bandongan.
Pola II
Ada Masjid, rumah kyai, dan pondok. Dalam pola ini pesantren telah memilki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari luar daerah. Metode pengajaran yang digunakan: wetonan dan sorongan.
Pola III
Dalam pola ini lebih sistematis ada masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah. Pesantren ini telah memakai system klasikal, dimana santri yang mondok mendapat pendidikan di madrasah. Adakalanya murid madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Disamping system klasikal juga pengajaran dengan system wetonan dilakukan juga oleh kyai.
Pola IV
Dalam pola ini ada masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan. Pesantren ini disamping memiliki madrasah juga memiliki tempat-tempat keterampilan misalnya: peternakan, pertanian, kerajinan rakyat, toko koperasi, dan sebagainya.
Pola V
Dalam pola ini sudah mengalami perkembangan yang pesat dengan hadirnya masjid, rumah kyai, pondok, madrasah tempat keterampilan, Universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang sudah berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren seperti ini telah memilki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, toko, rumah penginapan tamu, ruang operation room, dan sebagainya di samping itu pesantren ini mengelola sekolah tingkat dasar, menengah dan kejuruan lainnya.
2) Berdasarkan kurikulum dapat dipolakan menjadi lima:
Pola I
Materi pelajaran yang dikemukakan di pesantren ini adalah mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Metode penyampaiannya adalah wetonan dan bandongan, tidak memakai system klasikal. Santri dinilai dan diukur berdasarkan kitab yang mereka baca. Mata pelajaran umum tidak diajarkan, tidak mementingkan ijazah sebagai alat untuk mencari kerja, yang paling dipentingkan adalah pendalaman materi ilmu-ilmu agama semata melalui kitab-kitab klasik.
Pola II
Pola ini hampir sama dengan pola I di atas, hanya saja pola ini proses belajar-mengajar dilaksanakan secara klasikal dan non klasikal, juga diajarkan keterampilan dan berorganisasi. Pada tingkat tertentu diberikan sedikit pengetahuan umum, santri dibagi jenjang pendidikannya mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Metode: wetonan, sorogan, hafalan, dan musyawarah
Pola III
Pada pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan mata pelajaran umum, dan ditambah pula dengan memberikan aneka macam pendidikan lainnya, seperti keterampilan, kepramukaan, olah raga, kesenian dan pendidikan berorganisasi, dan sebagian telah melaksanakan program pengembangan masyarakat.
Pola IV
Pola ini menitikberatkan pelajaran keterampilan disamping pelajaran agama. Keterampilan ditujukan untuk bekal kehidupan bagi seorang santri setelah tamat dari pesantren tersebut. Keterampilan yang diajarkan adalah pertanian, pertukangan, peternakan, dan lain sebaginya.
Pola V
Pada pola ini materi yang diajarkan di pesantren adalah sebagai berikut:
a) Pengajaran kitab-kitab kasik.
b) Madrasah, di pesantren ini diadakan pendidikan model madrasah, selain mengajarkan mata pelajaran agama, juga mengajarkan mata pelajaran umum. Kurikulum madrasah pondok dapat dibagi kepada dua bagian, pertama, kurikulum yang dibuat oleh pondok sendiri dan kedua, kurikulum pemerintah dengan modifikasi materi pelajaran agama.
c) Keterampilan juga diajarkan dalam berbagai bentuk kegiatan ketrampilan.
d) Sekolah umum, di pesantren ini dilengkapi dengan sekolah umum. Pedoman kurikulum yang dipakainya adalah kurikulum pendidikan Nasional. Sedangkan materi pelajaran agama disusun oleh pondok pesantren sendiri. Diluar kurikulum pendidikan agama yang diajarkan di sekolah, pada waktu-waktu yang sudah terjadwal santri menerima pendidikan agama lewat membaca kitab-kitab klasik.
e) Adanya perguruan tinggi, pada beberapa pesantren yang tergolong pesantren besar telah membuka universitas atau perguruan tinggi.
c. Kurikulum Pondok Pesantren
Madrasah atau sekolah yang diselenggarkan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di madrasah atau sekolah lain, yang telah dibakukan oleh kementrian agama atau kementrian pendidikan Nasional. Adapun kurikulum selain madrasah dan sekolah, kurikulum disusun oleh pondok pesantren yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan jenis pesantren salafiyah yang tidak mengenal adanya kurikulum pada madrasah atau sekolah formal yang dituangkan dalam silabus tetapi berupa funun kitab-kitab yang diajarkan pada santri.
Adapun Kitab yang diajarkan berdasarkan tingkatannya sebagai berikut:
Tingkat Dasar
1) Al-Qur’an
2) Tauhid : Al-Jawar al-Kalamiyayah ummu al-Barohim
3) Fiqih : Safinah al-Shalah, Safinah al-Naja’, Sullam al-Taufiq, Sullam al-Munajat
4) Akhlaq : Al-Washaya al-Abna’, Al-Akhlaq li al-Bann/Banat
5) Nahwu : Nahw al Wadlih al-Ajrumiyyah
6) Saraf : Al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Matn al-Bina wa al-Asas
Tingkat Menengah Pertama
1) Tajwid : Tuhfah al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid al-Wildan, Syifa’ al-Rahman
2) Tauhid : Aqidah al-Awwam, Al-Dina al-Islami
3) Fiqih : Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj al-Qawim Safinah al-Sholah
4) Akhlaq : Ta’lim al-Muta’allim
5) Nahwu : Mutammimah Nazham, Imrithi, Al-Makudi, Al-Asymawi
6) Sharaf : Nazaham Maksud, al-Kailani
7) Tarikh : Nur al-Yaqin
Tingkat Menengah Atas
1) Tafsir : Tafsir al-Qur’an al-Jalalain, Al-Maraghi
2) Ilmu Tafsir : Al-Tibya Fi’Ulumul al-Qur’an, Mabanits fi’ Ulumul al-Qur’an, Manahil al-Irfan
3) Hadits : Al-Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-Maram, Jawahir al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shaghir
4) Musthalah al-Hadist : Minha al mughits, Al-Baiquniyyah
5) Tauhid : Tuhfah al-Murid, Al-Husun al-Hamidiyah, Al-Aqidah al-Islamiyah, kifayah al-Awwam
6) Fiqih : Kifayah al-Akhyar
7) Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat, Al-Sullam, Al-Bayan, Al-Luma’
8) Nahwu dan Sharaf : Alfiyah ibnu Malik, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyyah, Syarh ibnu Aqil, Al-Syabrawi, Al-‘Ilal, ‘Ilal al-Sharaf
9) Akhlaq : Minhal al-Abidin, Irsyad al-‘Ibad
10) Tarikh : Ismam al-Wafaq
11) Balaqha : Al-Jauhar al-Maknun
Tingkat Tinggi
1) Tauhid : Fat al-Majid
2) Tafsir : Tafsir Qur’an Azhim (Ibnu Katsir), Fizilal al-Qur’an
3) Ilmu Tafsir : Al-Itqan fi ulum Al-Qur’an, Itmam al-Dirayah
4) Hadist : Riyadh al-Shalihin, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan, Shahih al-Bukhori, shahih al-Muslim, Tajrid al-Shalih
5) Mustalah al-Hadist : Alfiyah al-Suyuthi
6) Fiqih : Fath al-Wahhab, Al-Iqna’, Al-Muhadzdzab, Al-Mahalli, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al Arba’ah, Bidayah al-Mujtahid.
7) Ushul al Fiqh : Latha ‘ifa al-Isyarah, Jam’u al-Jawami’, Al-Asybah wa al-Nadhair, Al-Nawahib al-Saniyah
8) Bahasa Arab : Jami’ al-Durus Al-Arabiyah
9) Balaghah : Uqud al-Juman, Al-Balaghah al-Wadhihah
10) Mantiq : Sullam al-Munauraq
11) Akhlaq : Ihya’Ulum al-Din, Risalah al-Mu’awwamah, Bidayah al-Hidayah
12) Tarikh : Tarikh Tasyri’
Kitab-kitab tersebut pada umumnya dipergunakan dalam pengajian standar oleh pondok-pondok pesantren. Selain yang telah dikemukakan di atas, masih banyak kitab-kitab yang dipergunakan untuk pendalaman dan perluasan pengetahuan ajaran Islam. kitab-kitab itu sebagai berikut:
Dalam bidang ilmu tafsir
1) Ma’ani al-Qur’an
2) Al-Basith
3) Al-Bahal al-Muhin
4) Jami’ al-Ahkam al-Qur’an
5) Ahkam al-Qur’an
6) Mafatih al-Ghaib
7) Lubah al-Nuqul fi Asbab Nuzulul al-Qur’an
8) Al-Burhan fi’ulum al-Qur’an
9) ‘Ijazaz al-Qur’an
Dalam bidang hadist
1) Al-Muwaththa’
2) Sunan al-Turmudzi
3) Sunan Abu Daud
4) Sunan al-Nasa’i
5) Sunan Ibn Majah
6) Al-Musnad
7) Al-Targhib wa al- Tarhib
8) Nail al-Awrhar
9) Subul al-Salam
Dalam bidang fiqih
1) Al-Syarh al-Kabir
2) Al-Umm
3) Al-Risalah
4) Al-Muhalla
5) Fiqh Al-Sunnah
6) Min Taujihah al-Islam
7) Al-Fatawa
8) Al-Mughni li Ibn Qudamah
9) Al-Islam Aqidah Wa Syariah
10) Zaa al-Maad
d. Metode Pembelajaran
Sebagaimana halnya kurikulum. Madrasah atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren juga menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran di madrasah atau sekolah lain, di luar pondok pesantren. Metode pembelajaran yang dipergunakan di lembaga pendidikan formal lain yang diselenggarakan oleh pondok pesantren, selain madrasah dan sekolah, pada umumnya mengikuti metode yang berkembang di madrasah atau sekolah.
Metode pembelajaran yang baku yang dipergunakan di madrasah dan sekolah tersebut tidak dipergunakan dalam pengajian kitab di pesantren-pesantren salafiyah. Metode pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajaran asli (original) pondok pesantren. Ada pula metode pembelajaran modern (tajdid). Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan penerapan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah. Pemahaman terhadap teks-teks ajaran tersebut dapat dicapai melalui metode pembelajaran tertentu yang biasa digunakan oleh pondok pesantren. Selama kurun waktu panjang pondok telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode pembelajaran.
Adapun beberapa metode yang berkembang pembelajaran yang ada di pesantren sebagai berikut:
1) Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kyai atau ustad.
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk kyai atau ustadz, di depan ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kyai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran dipanngil.
Metode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab dihadapan kyai. Mereka tidak saja senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara membacanya tetapi dapat dievaluasi perkembangan kemampuannya.
2) Metode wetonan (Bandongan)
Istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan sholat fardlu. Metode yang dikenal wetonan ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa disebut dengan bandongan.
Metode bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap kelompok santri untuk mendengarkan atau menyimak apa yang dibacakan oleh kyai dari sebuah kitab. Kyai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks berbahasa Arab tampa harakat (Gundul). Santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat kata langsung di bawah kata yang dimaksud agar dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran). Dalam penerjemahannya kyai atau ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya, seperti: ke dalam bahasa Jawa, Sunda atau bahasa Indonesia.
3) Metode Musyawarah (Bahtsul Masa’il)
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz, atau santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan atau pendapatnya. Dengan demikian metode ini lebih menitikberatkan pada kemampuan perseorangan di dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argument logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah dilakukan untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit untuk memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa digunakan oleh santri tingkat menengah atau tinggi untuk membedah topik materi tertentu.
4) Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kyai atau ustadz yang dilakukan oleh kelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan. Tetapi pada metode ini target utamanya adalah “selesai” nya kitab yang dipelajari. Pengajian pasaran ini dahulu banyak dilakukan oleh pesantren-pesantren tua di Jawa, dan dilakukan oleh kyai-kyai senior dibidangnya. Titik beratnya pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan. Sekalipun dimungkinkan bagi para pemula untuk mengikuti pengajian ini, namun pada umumnya pesertanya terdiri dari mereka-mereka yang telah belajar atau membaca kitab tersebut sebelumnya. Kebanyakan pesertanya justru para ustadz atau para kyai yang datang dari tempat-tempat lain yang sengaja datang untuk itu. Dengan kata lain, pengajian ini lebih banyak untuk mengambil berkah atau ijazah dari kyai-kyai yang dianggap senior.
5) Metode Hafalan
Metode hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan penugasan kyai atau ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri kemudian dihafalkan dihadapan kyai atau ustadz secara periodic atau incidental tergantung kepada petunjuk kyai atau ustadz yang bersangkutan.
Dalam pembelajarannya metode ini seorang santri ditugasi oleh kyai untuk menghafalkan suatu bagian tertentu atau keseluruhan dari suatu kitab. Adapun titik tekan metode ini santri mampu mengucapkan atau menghafalkan kalimat-kalimat tertentu secara lancar tampa teks. Pengucapan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Metode ini dapat juga digunakan dengan metode bandongan atau sorogan.
Untuk mengevaluasi kegiatan belajar dengan metode hafalan ini dilakukan dengan dua macam evaluasi. Pertama dilakukan pada tiap kali tatap muka, kedua pada waktu telah dirampungkan atau diselesaikannya seluruh hafalan yang ditugaskan kepada santri.
6) Metode demonstrasi
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kyai atau ustadz.




G. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sedangkan jenis penelitiannya adalah Studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainnya. Satu fenomena tersebut bisa seorang pimpinan sekolah atau pimpinan pendidikan, sekelompok siswa, suatu program, suatu proses, satu penerapan kebijakan, atau suatu konsep.
Studi kasus yang akan dilakukan oleh peneliti ini terkait dengan fenomena di lembaga pesantren terutama pada proses pengembangan kurikulum di pondok pesantren An-Nur II Bululawang Malang.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di pondok pesantren An-Nur yang berlokasi di An-Nur II Al-Murtadla tepatnya di Jl. Raya Bululawang Malang. Jumlah penduduk kecamatan Bululawang sekitar 59.950 jiwa yang tersebar di 14 desa, PP An-Nur II Al-Murtadla berada di tengah-tengah kecamatan ini.
Jenjang pendidikan di pondok pesantren An-nur II terbagi menjadi dua pertama, jalur keagamaan, dalam jenjang ini; 1) madrasah diniyah, yang terdiri dari tingkat ‘ula (tingkat dasar), Wustho (tingkat menengah), dan Ulya (tingkat tinggi); 2) Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIK). Kedua, jalur formal yang terdiri dari MI, MTS, SMP, MA dan SMA. Kemudian dilengkapi oleh lingkungan PP An-Nur II yang asri dengan pertamanan yang hijau dan rindang serta taman satwa yang alami sehingga menambah indahnya suasana lingkungan.
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah di Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIK). Sekolah Tinggi ini adalah lanjutan dari madrasah diniyah tingkat aliyah yang memberikan pemahaman kepada santri tentang ilmu agama yang lebih tinggi.
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh permasalahan terhadap metode kulaitatif, penguasaaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
Dalam pendapat Nasution, tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama dalam penelitian kualitatif. Peneliti sebagai instrumen berfungsi menetapkan fokus peneilitian, memilih informasi sebagai sumberdata, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Meskipun instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, namun demikian setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka akan dikembangkan instrumen penelitian secara sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah dikemukakan melalui observasi dan wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik dalam grand tour question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan.

4. Data dan Sumber Data
Data adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan). Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah dari informan terutama pimpinan pondok pesanten An-Nur II Bululawang Malang atau peristiwa-peristiwa yang diamati. Sedangkan data sekundernya adalah segala macam bentuk dokumen yang dapat dijadikan bahan penelitian terkait dengan tema Model Pengembangan kurikulum Pesantren
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang akan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Adapun data atau informasi yang menjadi bahan baku penelitian, untuk diolah merupakan data yang berwujud data primer dan data skunder :
a. Data primer
Data yang berwujud primer tersebut merupakan data yang diperoleh melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut:
1) Observasi
Observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya. Sanafiah Faisal, mengklasifikasikan observasi menjadi, observasi partisiptifi, observasi terus terang atau tersamar, dan observasi tak berstruktur.
Dalam penelitian ini penelititi menggunakan observasi partisasipatif dalam pengertian bahwa dalam observasi partisipatif ini peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data. Dengan observasi ini maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui, pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak.
Peniliti akan mengamati bagaimana perilaku guru dan murid dalam pembelajaran, bagaimana semangat belajar murid bagaimana hubungan satu guru dengan yang lain, dan bagaimana proses pengembangan kurikulum pondok pesantren An-Nur II Bululawang Malang.
2) Wawancara
Wawancara secara umum adalah proses memperoleh keterangan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan informan atau orang yang diwawancarai.
Untuk memperoleh data yang memadai sebagai cross ceks, peneliti juga menggunakan teknik wawancara mendalam dengan subyek yang terlibat dalam obyek yang diteliti yang dianggap memiliki pengetahuan, mendalami situasi dan mengetahui informasi untuk mewakili lembaga tempat penelitian dan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Wawancara mendalam merupakan bentuk komunikasi antara peneliti dengan subyek yang diteliti dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam mencari informasi berdasarkan tujuan. Wawancara dilakukan secara formal dan informal (terjadwal dan tidak terjadwal) baik di tempat resmi maupun di tempat umum.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan atau pengolahan data yang bersifat studi dokumentasi (analisis dokumen). Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan, sejarah kehidupan, biografi, peraturan, kebijakan dan lain-lain.
Dokumen yang berbentuk gambar seperti foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Sedangkan yang berbentuk karya seperti karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.
Dalam penelitian dengan menggunakan teknik dokumentasi ini peneliti akan menelaahnya terhadap dokumen pribadi, resmi kelembagaan, referensi-referensi atau peratuaran (literatur laporan, tulisan dan lain-lain) yang memiliki relevansi dengan fokus permasalahan penelitian. Sumber data sekunder dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan tentang organisasi tempat penelitian, data-data yang berhubungan dengan subjek yang diteliti serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengatasi keraguan terhadap hasil penelitian kualitatif ini peneliti membangun mekanisme sistem pengujian keabsahan hasil penelitian, dengan mengunakan metode triangulasi. Metote tersebut adalah salah satu cara paling penting dan mudah dalam uji keabsahan hasil penelitian, diantara metode tersebut adalah: Triangulasi peneliti, triangulasi sumber data, triangulasi metode, dan triangulasi teori
Dalam Penelitian ini penulis akan menggunakan pengecekan keabsahan temuan dengan menggunakan triangulasi metode. Teknik triangulasi ini dilakukan pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data, apakah informasi yang dibuat dengan metode interview sama dengan metode observasi, ataukah hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika di-interview. Begitu pula tehnik ini dilakukan untuk menguji sumber data, apakah sumber data ketika di-interview dan observasi akan memberikan informasi yang sama atau berbeda maka peneliti harus dapat menjelaskan perbedaan itu, tujuannya adalah untuk mencari kesamaan data dengan metode yang berbeda.
Dalam penelitian yang penulis lakukan terutama dalam teknik pengumpulan data baik wawancara maupun observasi pengecekan keabsahan temuan akan menggunakan beberapa metode triangulasi di atas. Teknis triangulasi lebih mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang dinginkan. Oleh karena itu triangulasi dilakukan dengan menguji apakah proses dan hasil metode yang digunakan adalah berjalan dengan sebaik-baiknya.
Adapun langkah-langkah peneliti dalam triangulasi terkait dengan metode wawancara dan observasi adalah sebagai berikut:
1. Peneliti akan menggunakan wawancara mendalam untuk pengumpulan data. Kemudian semua data baik wawancara dengan informan ataupun observasi tercatat secara sitematis.
2. Setelah itu peneliti akan menguji silang terhadap materi catatan-catatan itu untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara dan catatan harian observasi. Apabila ternyata antara catatan harian kedua metode ada yang tidak relevan, maka peneliti akan mengkonfirmasi perbedaan itu kepada informan.
3. Hasil informasi itu perlu diuji lagi dengan informasi-informasi sebelumnya karena bisa jadi konfirmasi itu bertentangan dengan informasi-informasi yang telah dihimpun sebelumnya dari informan atau sumber-sumber lain.
Proses triangulasi tersebut di atas dilakukan terus menerus sepanjang proses pengumpulan data dan analisis data, sampai peneliti yakin bahwa sudah tidak ada lagi perbedaan-perbedaan, dan tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasikan.
7. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain
Analisis data kulitatif ini bersifat induktif, yaitu suatu analisa berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis yang dirumuskan. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dapat dilumpulakan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.
Proses analisi data selama dilapangan dalam penelitian kualitatif ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum meuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoeh data yang dianggap kredibel.
Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclution drawing/verivication. Adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut.



Gambar. Langkah-langkah analisis model Miles dan Huberman

Periode pengumpulan data


Reduksi data

Antisipasi Selama Setelah
Display data
Selama Setelah

Kesimpulan/verifikasi

Selama Setelah




















H. DAFTAR PUSTAKA

1. Bungin, Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial lainnya. Cet. Ke I. Jakarta: Kencana.
2. Dakir, 2004, Perencanaan Dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta.
3. Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003, Pondok Pesantren & Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta.
4. Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
5. __________________1984, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup kiai. Jakarta: LP3ES.
6. Endin Mujahidin, 2005, Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama di Luar Sekolah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
7. Hamalik Oemar, 2006, Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
8. _____________, 2007, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
9. Hasbullah, 1996, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
10. H. Maksum, 1999, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
11. Idi, Abdullah, 2007, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
12. Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, 1988, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.
13. Jalaluddin & Usman Said, 1994, filsafat Pendidikan Islam : Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
14. Madjid Nurcholish, 1997, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
15. Mas’ud, Abdurrahman, 2004, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS.
16. Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
17. M. Sulthon dan Moh. Khusnuridhlo, 2006, Manajemen Pondok Pesanren dalam Persepektif Global. Editor Zakiyah Tasnim, Yogyakarta: LaksBang,Cet.1.
18. Muhaimin, 2003, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta Rajagrafindo Persada.
19. ______________ 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Disekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
20. ______________ 2009, Rekontruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
21. Nana Syaodih Sukmadinata, 2005, Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
22. ______________ 2007, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. cet IX. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
23. Nurgiyantoro, Burhan, 1988, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan. Yogyakarta: BPFE.
24. Nurhayati Djamas, 2009, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
25. Nata, Abuddin, 2001, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
26. Pratt, David, Educational Design and Develovment. Newyork: Macmillan Publishing co, Inc, 1980.
27. Putra, Daulay, 2007, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
28. S. Nasution, 2003, Asas-Asas Kurikulum, Ed. 2, Cet. 5. Jakarta: Bumi Aksara.
29. Statististik Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2003-2004. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2004.
30. Subandijah, 1993, Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Per-sada.
31. Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan. Cet. VII. Jakarta: Alfabeta.
32. Saridjo, Marwan dkk, 1980, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.











Tidak ada komentar: